TRADISI TUMPENG SERIBU DUMBEK
Merunut Indonesia, memang tidak lepas dari liku-liku budaya masa lalu.
Nenek moyang kita melalui masa-masa dari belum mengenal peradaban hingga
bersentuhan dengan peradaban. Kentalnya budaya Kejawen dengan animisme dan
dinamisme yang kemudian disentuh oleh pengaruh Hindu, Budha, Islam, dan
agama-agama lain tentu meninggalkan jejak rekam budaya tersendiri bagi warga di
Kecamatan Plumpang, Tuban.
Masa lalu meninggalkan cerita anonim yang tersebar di Plumpang seperti
kisah romantika Joko Tarub dan Nawang Wulan, asal usul desa, atau kepercayaan
masyarakat yang berbau mistis. Pada masa Kahuripan, manakala Tuban masuk dalam wilayah
Jenggala, daerah ini pernah mendapatkan anugerah Sima dari Mapanji Garasakan
karena jasa-jasa warganya dalam membantu memenangkan perang dengan Samarawijaya
dari Pangjalu. Masa Majapahit, Plumpang masih menjadi jalur lalu lintas darat
menuju pusat kota kerajaan. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya prasasti
Tuban 1 dan 2 di Makam Krebut, Bandungrejo. Masa Islam dilanjutkan dengan
ditemukannya makam aulia dan sholihin yang mengisi relung bumi Plumpang.
Budaya masa lalu masih meninggalkan kearifan lokal yang sampai saat ini
masih kuat guratannya di Plumpang seperti mengeramatkan benda atau tempat, wiwit (umbul donga) sebelum tanam dan panin, manganan atau bersih desa yang diwarnai kegiatan seni seperti tayub
dan wayang kulit. Tidak lupa budaya Islam juga masuk melalui tahlil, doa
bersama, dan pengajian mengambil bagian dalam manganan tersebut . Plumpang juga memiliki kearifan lokal yang
tidak dimiliki daerah lain yaitu ritual uter pada pengantin di Penidon. Calon
pengantin pria harus menjalani prosesi meminta izin kepada Danyang setempat
sebelum terlaksananya pernikahan. Caranya, jas dan pusaka calon pengantin harus
digendong seseorang dan dipayungi seseorang untuk dibawa ke cungkup desa
setempat.
Komentar
Posting Komentar